Semilir angin malam menghembus ke seluruh pelosok kota. Udara malam ini terasa begitu dingin. Perlahan-lahan udara masuk ke dalam tubuhku melalui pori-pori kulit. Aku duduk termenung bersama adikku tercinta. Hujan malam ini begitu sempurna menghiasi kesedihanku. Langit seakan tak henti-hentinya menurunkan butiran air hujan. Membasuh seluruh sendi-sendi perkotaan.
Di depan sebuah toko buku terbesar di kota kami, aku terduduk pasrah. Tak tahu harus bagaimana lagi. Si kecil nayla sudah tertidur pulas dipangkuanku. Sejenak aku melihat ke arah wajah nayla. Matanya yang bulat, indah berwarna agak kecoklatan. Rambutnya yang hitam. Panjang tergurai lurus menyentuh teras ubin toko buku. Pipi lesungnya begitu menawan. Satu dua nyamuk nakal hinggap menyergap wajahnya. Aku berusaha mengusir kerumunan nyamuk nakal itu dari wajah adikku.
Setelah seharian merengek meminta dibelikan makan. Akhirnya sekarang nayla tertidur pulas. Bukan karena kekenyangan lantas tertidur begitu saja. Tapi terlebih karena tenaganya telah habis setelah seharian terus merengek. Perutnya perih. Seharian kosong melompong tanpa terisi sebutir nasi. Ia terlihat begitu pucat. Tubuh mungilnya kemudian menggigil dahsyat. Ujung jari tangan dan kakinya mengkerut. Suhu tubuhnya menurun drastis di bandingkan tadi sore. Ya Tuhan, Apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin kehilangan adikku dan hidup sebatang kara.
Malam semakin gelap. Hujan terus membasahi permukaan bumi lapisan teratas. Cipratan air hujan dari jalan raya margonda menyapa taman bunga yang berada di depan toko buku. Langit berwarna hitam pekat. Satu dua bintang bersembunyi di balik kegelapan malam. Rembulan nan indah kini tak berani menampakkan diri. Sungguh sangat mengerikan menyaksikan pemandangan langit malam ini. Suara petir menggema bersaut-sahutan. Bak orang marah yang sedang bertengkar adu mulut. Semburat kilat menyambar melukiskan akar tumbang di langit hitam nan pekat.
Butiran air mata jatuh dari kedua bola mataku. Semakin deras dan tidak terkendalikan. Air mata mengalir tanpa tahu mengapa dan bagaimana hal ini harus terjadi padaku. Sekarang aku sudah tersungkur meminta penjelasan kepada Tuhan. Kenapa si kecil nayla yang masih suci tak tersentuh dosa harus merana dan menderita seperti ini. Sesekali nayla terbangun lantas menangis karena kedinginan. Tubuhnya seperti mulai membeku. Aku mendekap dengan erat tubuh mungil nayla. Tapi sama saja, udara malam ini begitu sangat dingin.
Semakin lama, daya tahan tubuh nayla semakin lemah. Matanya mendelik seakan berbalik arah. Yang terlihat hanyalah bagian putih matanya. Aku semakin tidak bisa menahan diri untuk bergerak meminta bantuan. Namun malam ini begitu sepi. Sunyi membungkus kota kami. Suara jangkrik melengking mengalunkan lagu kesedihan. Lampu di sekitar jalan margonda bersinar dengan terangnya. Namun tak satupun mobil yang lalu lalang di jalanan. Gerai photocopy sudah tutup sejak kami berdua tiba di depan toko buku ini. Warung-warung di pinggir jalan yang menjajakan makanan sudah pergi entah kemana. Pemilik toko percetakan sepertinya sudah tertidur pulas di dalam tokonya. Aku membopong tubuh adikku ke jalan raya. Mengharap malaikat dari langit menyaksikan pengorbananku. Dan mengirimkan bantuan untuk keselamatan adikku. Sementara itu malam semakin larut.
Sinar putih terlihat mendekati kami berdua. Perasaan buncah tiba-tiba menyelinap ke dalam lubuk hati. Akhirnya malaikatpun menyaksikan kejadian ini. Semakin dekat sinar putih itu semakin nyata. Sinar yang bersumber dari lampu depan mobil yang sedang melaju dengan begitu kencang. Lantas aku berusaha berdiri di tengah jalan. Bak seperti pembegal yang ingin melakukan curanmor. Tapi tubuhku terlalu kecil untuk hal itu. Aku hanya berharap mobil itu mau mengantarkan adikku ke rumah sakit yang tak jauh dari toko buku di kota kami ini.
NGIIIIK….!!!!!! Suara denyitan rem mobil berhenti di depanku. “HEI DASAR ANAK JALANAN. CEPAT MINGGIR DARI TENGAH JALAN ATAU KU TABRAK MATI KAU!!” sahut si pembawa mobil dengan tampang menyebalkan. matanya melotot mendelik melihat penampilanku. rambutnya kriting pendek. Kulitnya hitam. Kumisnya membentang panjang. Menakutkan melihat raut muka si pembawa mobil itu.
Nayla kini sudah terkapar di pinggir jalan. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tubuhnya semakin membeku. Wajahnya semakin pucat. Seperti tak ada lagi darah yang mau mengalir melewati bagian tubuh nayla yang tidak tertutupi pakaian. Di saat genting seperti ini. Hatiku kacau, otakku tidak berjalan normal seperti biasanya. Kini, aku sudah tidak mau lagi meninggalkan nayla. Ia akan selamanya dalam pangkuanku. Walaupun ajal akan menjemputnya malam ini. Setidaknya dia meninggal dalam hangatnya pelukanku.
TIIID.,. TIIID..!!! suara klakson mobil menyadarkan lamunanku. Aku melihat ada sebuah mobil xenia berwarna hitam mendekati kami. Hujan terus mengguyur kota. Namun kali ini sudah semakin reda. Hanya bintik kecil air yang jatuh dari langit nan hitam. Tidak ada lagi kilat dan petir yang menghiasi hujan. “Hey Dek.. kau tidak apa-apa, sepertinya adikmu sedang sakit keras dan memerlukan bantuan” kepala si pembawa mobil xenia itu muncul di balik pintu mobil. Kacanya sudah terbuka setengahnya. Menanyakan kabar adikku yang entah masih bisa diselamatkan atau tidak.
“Pa aa k, to looo ng selamatkan adik sa yaaa, saya mohon Pak, saya bersedia melakukan apa saja demi keselamatan adik saya” jawabku dengan nada agak tersendat-sendat. Suaraku antara terdengar atau tidak. Tersendak di kerongkongan. Tak tahu apa yang harus aku katakan. Mendengar suaranya saja aku sudah bersyukur masih ada yang peduli. Laki-laki itu kira-kira berumur empat puluh lima tahun. Rambutnya tertutup kopiah putih. Wajahnya lebih tampan dari pada si pembawa mobil yang pertama tadi. Kulitnya berwarna sawo matang, lebih cerah. Ia menjadi malaikat penolong kami malam ini.
Aku segera membopong tubuh mungil nayla memasuki mobil itu. Di kursi depan sudah ada seorang ibu yang tertidur pulas. Mungkin dia terlalu letih. Lima menit kemudian mobil xenia sudah terparkir rapi di depan rumah sakit bunda margonda. Inilah enaknya tinggal di kota. Tidak susah-susah mencari rumah sakit dua puluh empat jam penuh. Dulu, saat aku tinggal di desa. Tatkala tengah malam tiba, tubuhku panas dingin. Keluargaku kelabakan mencari rumah sakit. Namun tak ada rumah sakit. Puskesmas hanya buka sampai jam empat sore. Itupun kalau dokternya sedang tidak sibuk.
Tubuh mungil nayla langsung dilarikan ke ruang unit gawat darurat. Aku berharap cemas menanti di luar ruangan. Bersama laki-laki pembawa mobil itu dan juga istrinya yang terkantuk-kantuk. Ternyata aku baru sadar kalau istrinya si pembawa mobil sedang hamil tua, Sepertinya tinggal menunggu hitungan hari saja. Mulutku terkunci rapat. Aku tak tahu harus berkata apa. Akhirnya laki-laki itu mendekatiku.
“Sabar ya dek, mohon maaf kami harus segera pulang. Istri saya sedang hamil. Dia butuh istirahat banyak. Semua biaya pengobatan adik – ” tiba-tiba terdiam. Berpikir sejenak lantas melanjutkan kembali ucapannya. “oh ya nama adik siapa. Saya Ahmad, panggil saja pak ahmad”.
“Saya haris Pak. Terima kasih sudah mau menolong adik saya.” jawabku singkat.
“Baiklah dek haris, bapak pulang dulu. Tenang saja semua biaya pengobatan adikmu bapak yang tanggung. Kalian bisa tinggal di sini selama lima hari. Dia akan baik-baik saja. Percayalah”.
“Sekali lagi terima kasih Pak, maaf merepotkan pak ahmad”.
“Ya ga apa-apa. sudah seharusnya manusia saling menolong sesamanya. Hari terakhir saya akan ke sini lagi untuk menjenguk adik dek haris. Sekaligus mau melunasi seluruh tagihan rumah sakit. Bapak pulang dulu ya. Tetap semangat dan tersenyumlah”.
Sepasang suami istri itu lantas pulang meninggalkan rumah sakit bunda margonda. Perawat rumah sakit menyuruhku mengganti pakaian yang sudak tak karuan. Basah, kotor dan bau keringat pastinya. Membuat aroma rumah sakit menjadi tidak sedap. Aku segera bergegas membersihkan diri dengan air hangat. Pakaian khas rumah sakit yang berwarna putih kini sudah menutupi seluruh bagian tubuhku. Terlihat begitu sangat kontras dengan warna kulitku yang gelap. Bubur ayam hangat sudah tersedia di ruang tunggu. Begitu sangat menggoda selera. Asapnya mengepul menandakan masih hangat. Wangi khas bubur ayam membawa ingatanku saat tinggal di desa dulu sebelum ibu salamah menikah dengan bapak ustman. Hingga akhirnya membuat aku dan adikku terdampar di kota ini. Tumbuh menjadi gelandangan.
***
Hari telah berganti. Udara pagi ini begitu menyegarkan. Angin sepoy-sepoy memasuki ruangan tempat nayla di rawat. Kini nayla sudah tidak di ruang unit gawat darurat lagi. Tubuhnya sudah mendingan. Tapi sampai saat ini, ia masih tidak sadarkan diri. Namun dokter bilang nayla akan baik-baik saja. Ruangan ini jauh lebih nyaman dibandingkan rumah kardus kami. Aku dan nayla akan tinggal di sini selama lima hari. Sampai pak ahmad datang menjenguk kami. Aku merogoh saku baju. Barang kali ada uang tertinggal di baju rumah sakit ini. Tak ada uang sepeserpun. Aku mulai gelisah. Satu porsi makanan sudah tersedia di atas meja. Lengkap dengan buahnya. Makanan itu sebenarnya untuk nayla. Tapi perutku terasa sangat perih. Sementara itu nayla masih belum siuman.
Dokter bilang nayla kemungkinan baru akan siuman besok. Jadi bubur ayam itu hanya untuk jaga-jaga saja. Kemungkinan untuk siuman hari ini masih mungkin. Walaupun tubuh nayla masih belum kuat untuk siuman hari ini. Mendengar penjelasan dokter, aku sudah tak kuasa lagi untuk mencicipi bubur hangat itu. Dalam hitungan menit. Bubur nayla sudah habis aku makan. Dalam keadaan lapar, terkadang antara hati dan naluri tidak bisa dipisahkan. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah kardus dan memikirkan cara untuk bertahan hidup selanjutnya. Aku tidak mau melakukan perbuatan keji itu lagi. Aku tidak kuasa merasakan darah haram mengalir ke seluruh pembuluh darahku. Aku juga tidak tega menjadi saksi mengalirnya darah haram itu melalui pembuluh darah nayla.
Satu jam kemudian aku sudah berada di dalam rumah kardus. Sebenarnya jarak rumah kardus kami tidak terlalu jauh dengan rumah sakit itu. Tapi karena aku harus berjalan kaki, jadi membutuhkan waktu satu jam untuk sampai ke rumah kardus kami. Aku berpikir sejenak. Mondar-mandir tidak karuan. Dan tidak tahu jalan keluar apa yang harus aku lakukan. Sementara itu waktu terus bergulir. Aku harus bisa bertahan hidup. Walau bagaimana pun caranya. Akhirnya tak ada pilihan lain selain melakukan itu lagi. Aku harus bergegas menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Jangan sampai ada yang tertinggal. Karena aku baru akan kembali ke rumah kardus ini setelah nayla pulang dari rumah sakit. Perlengkapan sudah siap. Aku bergegas kembali ke rumah sakit. Barang kali nayla sudah siuman. Dan dia ingin kakaknya ada menemaninya.
Di tengah perjalanan menuju rumah sakit. Hatiku dalam perdebatan yang sangat alot. Antara iya dan tidak. Memang susah menentukan pilihan yang tidak sesuai dengan kehendak. Tapi apa mau dikata. Keadaan memaksaku untuk melakukan hal itu. Di sisa perjalananku menuju rumah sakit, aku memperhatikan kondisi rumah yang akan menjadi korban pencurianku malam ini. Aku hanya butuh memastikan satu hal. Aman. Kemudian kembali bergegas menuju rumah sakit. Lima menit sebelum tiba di rumah sakit aku bertemu dengan ustad Dr. ‘aidh al qarni. Beliau adalah tetangga rumah kardus kami sekaligus guru ngaji kami ketika ibu salaman dan bapak ustma masih hidup. Sampai saat inipun ustad ‘aidh masih sering memberikan nasihatnya. Termasuk nasihatnya kali ini setelah aku menceritakan keadaan nayla kepadanya.
“Jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun. karena, setiap keadan pasti berubah. Dan sebaik-baik ibadah adalah menanti kemudahan dengan sabar. Hari demi hari datang silih berganti, tahun demi tahun akan selalu berputar dan malam demi malam saling bergantian. Setiap tangisan akan berujung dengan senyuman, ketakutan akan berakhir dengan rasa aman dan kegelisahan akan sirna oleh rasa aman. Sesungguhnya, setelah kesulitan akan ada kemudahan.”
Setiap nasihat dari ustad ‘aidh selalu menyentuh. Hatiku mulai basah. Tapi sekali lagi keadaan berkata lain. Aku berada dalam pilihan yang sangat sulit. Aku harus melakukan hal itu untuk kelangsungan hidup kami. Meskipun demikian, aku tetap bersyukur karena masih ada yang memberikan siraman rohani kepadaku. Setidaknya kata-kata ustad ‘aidh bisa menjadi penjelasan penyesalanku setelah melakukan hal itu. Aku tiba di rumah sakit masih dengan hati basah. Nayla masih dengan ketidaksadarannya di atas kasur. Sementara itu menu makan siang sudah disiapkan di atas meja makan. Mungkin benar kata dokter, nayla baru akan siuman besok pagi. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk menggerakkan seluruh syaraf yang ada di sekujur tubuhnya. Menu makan siang akhirnya menjadi jatah makanku, agar malam ini aku bisa melakukan rencana pencurianku dengan sempurna.
Waktu yang ditunggu kini telah tiba. Rembulan malam nampak anggun di langit hitam berhiaskan taburan bintang. Pemandangan langit malam ini sangat berbeda dengan kemarin malam. Begitu sangat indah. Namun tak seindah keadaan hatiku saat ini. Aku masih bimbang. Nasihat dari ustad ‘aidh masih terngiang di telingaku. Tapi, apapun yang terjadi aku harus melakukannya. Tiba-tiba dorongan dalam batinku semakin kuat. Semua perlengkapan sudah aku siapkan. Aku harus segera bergegas pergi dari rumah sakit ini. Aku melihat tubuh terkulai nayla. Sebelum aku pergi, aku mencium keningnya. Air mataku jatuh menetas dan mengalir ke wajah nayla. Membuatku tak kuasa untuk menahan haru. Jam dinding di kamar nayla di rawat sudah menunjukan pukul dua belas malam. Aku bergegas pergi keluar.
Satu jam dua puluh menit kemudian, aku sudah berada di belakang rumah korban. Rumah ini tidak begitu asing bagiku. Dulu ibu salamah pernah bekerja sebagai babysitter di rumah ini. Aku pernah dua kali masuk ke dalam rumah ini. Walaupun waktu itu masih teramat kecil. Tapi aku masih bisa memutar kembali memoar otakku untuk mengenang masa itu. Masa pahit setelah meninggalnya bapak ustman. Tiba-tiba wajah ibu salamah dan bapak ustman terukir jelas di atas langit. Mereka tersenyum. Namun kemudian ibu salamah menangis tersedu-sedu. Akupun larut dalam imajinasiku. Hatiku sudah basah. Aku tidak sampai hati melukai perasaan ibu salamah dan bapak ustman dengan perbuatanku malam ini.
Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Tak ada yang bisa aku lakukan selain perbuatan tak terpuji ini. Aku segera mengendalikan diri. Mengambil alih kesadaranku. Lantas melaksanakan rencana yang sudah aku susun rapi. Baru kali ini aku merasa bersalah melakukan perbuatan ini. Padahal aku sudah terbiasa melakukannya semenjak ibu salamah pergi menjemput bapak ustman memenuhi panggilan Tuhan.
Aku mulai melancarkan aksiku. Perlahan tapi pasti memasuki rumah mantan majikan ibu salamah dulu. Hanya butuh waktu lima menit untuk masuk kedalam rumah mewah ini. Di belakang rumah ini terdapat sebuah pintu yang sengaja di gunakan untuk jalan keluar masuk pekerja yang punya rumah. Termasuk ibuku. Agar tidak mengganggu tamu agung yang keluar masuk pintu depan. Maklum, pemilik rumah ini adalah salah satu pejabat tertinggi di kota ini. Dan melalui pintu itu pulalah aku masuk ke dalam rumah ini dengan bantuan alat yang sudah ku persiapkan. Lantas tanpa pikir panjang aku segera menuju ke kamar pasangan suami istri majikan ibu dulu. Karena disitulah biasanya tempat orang kaya menyembunyikan harta kekayaannya. Dengan gerakan gesit, aku sudah bisa menguasai kamar pasangan suami istri itu, mereka tertidur pulas sekali. Mungkin sang suami sangat lemah setelah seharian rapat di kantornya. Dan sang istri tidak ingin mengganggu suaminya.
Akhirnya aku bisa mendapatkan apa yang aku cari dalam hitungan detik. Untuk urusan yang satu ini, instingku selalu berkata benar. Tidak salah lagi. Harta bapak pejabat itu diletakkan di lemari kecil yang terletak di samping tempat tidur. Aku hanya mengambil apa yang aku butuhkan untuk satu minggu ke depan. Tidak lebih. Lantas bergegas kembali keluar kamar dan secepatnya pergi ke rumah sakit. Kasihan nayla, sendirian. Tidak ada yang menemaninya, selain perawat cantik itu. Sebelum keluar melalui pintu belakang, aku terlebih dahulu harus melewati dapur rumah mewah ini. Karena pintu belakang itu memang tepat terletak di dapur yang punya rumah. Aku harus ekstra hati-hati, karena di samping dapur itu ada ruangan tempat para pembantu rumah ini beristirahat. Namun hal itu bisa aku kendalikan. Sejurus kemudian aku sudah berada di pintu belakang dan keluar dengan aman.
“WOIIII MALIIIIIING…MALIIIIIIIING…..!!!!!!! ADA MALING KELUAR RUMAH…”
Hatiku mulai berdegup kencang. DAG..DIG..DUG… semakin kencang. Sekencang kakiku berlari melewati gang-gang sempit. Hal seperti ini baru pertama kali bagiku. Aku sudah tidak banyak berpikir panjang. Perasaanku sudah tidak menentu. Ternyata bukan hanya satpam rumah itu yang mengejarku, tetapi hampir seluruh warga ikut keluar rumah dan memburu diriku. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang akan terjadi dengan diriku. Jika mereka menangkapku dan mejebloskan aku ke penjara. Itu saja masih untung. Bagaimana jika aku menjadi bulan-bulanan warga saat itu. Ya Tuhan misteri apa lagi yang sedang Engkau rencanakan. Begitu banyak pertanyaan yang hinggap merasuk memenuhi isi otakku.
TIDAAAAK…!!!! Jalan buntu. Terkepung. Habislah aku malam ini. Aku sudah tersungkur kaku. Sempurna membentuk formasi sujud. Mematung bak orang yang sudah siap menanti hukuman mati atas perbuatan kejinya. Sementara itu kerumunan warga semakin ganas berlarian ke arahku. Raut wajah nayla, ibu salamah, bapak ustman dan ustad aidh mulai menghantui seluruh pikiranku. Aku sungguh malu. Malu atas kejadian ini. Bagaimana kalau bapak ahmad tahu semua ini. Tak ada pilihan lain. Aku pasrahkan semua takdirku saat itu. Aku tidak ingin mencari pembenaran. Semuanya sudah jelas. Perkara ini disebabkan karena kebodohanku. Aku sudah tertunduk meminta ampunan kepada Tuhan. Air mataku mengalir sangat deras. Aku menyesali kejadian ini. Sejadi-jadinya aku menangis dalam keadaan tak berdaya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi dengan diriku.
BUKK..!!! BAKK…!!! PLLAAK..!!! BRUUUUKKK…!!! PRAAAAKK….!!!!!
HAJAAARRRR ANAK BANGSAT ITU……. TERUSSSS… HABISI SAJA BILA PERLU……. PERBUATANNYA MERESAHKAN WARGA……….!!!!!!!!!
Aku sudah tidak sadarkan diri setelah beberapa pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghampiri tubuhku. Yang aku rasakan saat itu adalah perih. Ngilu. Nyeri. Sakit luar biasa. Bercampur linangan air mata. Semua berkumpul menjadi satu. Nyaris aku kehilangan semua harga diri dan kehormatanku. Aku tersungkur tak sadarkan diri. Setelah beberapa warga melucuti pakaianku dan hanya menyisakan celana dalam. Aku sempat melawan saat mereka melucuti pakaianku. Namun apalah daya, tubuh ku yang kecil tak sebanding dengan tubuh mereka yang besar dan kekar. Aku sudah diarak seluruh warga ke kantor polisi. Dan di sanalah baru aku sadarkan diri dan segera memakai pakaian khas tahanan polisi.
Sementara itu. Di rumah sakit bunda margonda, nayla sudah ada perkembangan. Perawat itu sangat senang atas kemajuan nayla. Dokter kemudian memeriksa tubuh mungil nayla. Tangan nayla sudah bisa bergerak. Tapi matanya masih terpejam. Namun, seluruh kesadarannya telah pulih kembali, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk membuka matanya. Sepertinya dokter melihat ada keganjalan dalam diri nayla saat itu. Tapi ia tidak terlalu menghiraukannya, dokter itu teramat bahagia melihat kemajuan nayla kala itu. Dan tentunya akan menceritakan kepadaku setelah aku kembali ke rumah sakut itu. Namun harapan hanya tinggal harapan. Orang yang ditunggu dokter itu tidak kunjung tiba. Tak ada kakak dari gadis kecil yang saat ini masih tetap terjaga dalam tidurnya. Dokter itu mulai sadar kalau sudah tiga hari ini nayla belum membuka matanya. Ada apa dengan gadis ini. Dokterpun mulai cemas.
Hari berlalu begitu saja. tanpa gairah. Tanpa semangat. hatiku sudah semakin hancur. Pecah berkeping-keping. Lidahku kelu. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutku. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanya satu. Bagaimana keadaan nayla sekarang. Aku ingin menjenguk adikku. Aku ingin melihat senyuman manis adikku. Sudah tiga hari ini aku di tahan di penjara. Aku sudah tak tahan lagi dengan ini semua. Aku mulai putus asa. Aku akan selamanya berdiam diri di tahanan ini selama tidak ada yang mau membebaskanku. Ditengah hiruk pikuk kasus korupsi yang melanda negeri ini. Terkadang kasus seperti diriku menjadi perbincangan hangat untuk dipertontonkan di media. Bahkan ada yang lebih parah lagi. Seorang nenek tua yang hanya mengambil tiga buah pepaya tetangganya harus mendekam dipenjara ini selama satu minggu terakhir ini.
Tepat di hari ke empat masa tahananku, tiba-tiba penjaga sel penjara memanggilku untuk keluar dan segera bergegas menemui tamu yang ingin melihat kondisiku saat ini. Hatiku sangat senang mendengar itu semua. Namun dalam batinku masih menduga-duga siapa tamu yang menjenguk diriku yang hina ini. Untuk mengusir rasa penasaranku akhirnya aku segera menemui tamu itu. Dan ternyata tamu yang menjengukku adalah orang yang sangat dekat denganku. Dia adalah ustad aidh al qarni. Aku sangat senang sekali. Ia datang kemari, itu tandanya ada harapan untukku bertemu nayla. Tiba-tiba air mataku mulai tak terbendungkan untuk keluar dari kedua kelopak mataku. Begitupun dengan ustad aidh, ia sudah tertunduk haru atas kejadian yang menimpa diriku.
“Maafkan aku harist, seharusnya kalian berdua tinggal saja di rumahku. Tak perlu ada kejadian seperti ini. Aku tahu ini sangat berat untuk kalian. Tapi inilah kehidupan. Kau harus ikhlas dengan semua takdir yang digariskan untukmu. Orang-orang yang sengsara adalah mereka yang miskin iman dan mengalami krisis keyakinan. Ibnu Timiyyah pernah dipenjara, tetapi dipenjara iulah ia banyak menghasilkan karya”. Lantunan nasihat ustad aidh kemudian mengilir masuk ke dalam otakku. Aku sudah tak kuasa menahan haru. Air mataku semakin deras. Ustad aidh juga menjelaskan bahwa aku bisa menemui adikku hari ini. Kemudian aku bergegas berganti pakaian yang sudah dibawakan ustad aidh. Ia tidak sampai hati melihat penampilanku saat itu.
Setiba di rumah sakit, aku segera menemui ruangan adikku di rawat. Dokter sudah menunggu kedatanganku. Nayla baru akan membuka matanya hari ini. Aku tak kuasa melihat nayla yang berusaha membuka matanya. Namun sayang sungguh sayang ternyata setelah nayla berhasil membuka matanya, ia hanya melihat hitam. Pekat, tak ada cahaya. Dokter bilang nayla terjangkit kanker retina. Kedua bola mata nayla sudah tidak bisa di selamatkan. Hatiku sudah terpukul. Air mata melebur di atas pipiku. Aku memeluk tubuh mungil nayla. Ia ikut menangis. Tak tahu kenapa nayla harus menangis kala itu. Dokter bilang harus ada operasi donor mata, kalau nayla tetap ingin bisa melihat kembali indahnya dunia.
Aku sudah bersedia menjadi pendonor pertama bagi kedua bola mata nayla. Aku sampai tak tega hati kalau nayla harus menderita dan merana tanpa kedua matanya. Akhirnya hari ini dilangsungkan proses pendonoran mataku. Namun sebelumnya ustad aidh meyakinkan kesanggupanku. Dan aku sudah siap dan sanggup hidup tanpa kedua bola mataku. “Barang siapa Ku ambil dua kekasihnya (matanya) dan ia tetap bersabar, maka Aku (Tuhan) akan mengganti kedua (mata)nya itu dengan surga” kalimat itu yang aku dengar terakhir dari ustad aidh.
Proses pendonoran bola mata itupun akhirnya dilaksanakan dengan baik. Aku merasa lega telah melakukan ini semua untuk nayla. Dan satu kejutan terindahku, keesokan paginya ternyata bapak ahmad beserta istrinya datang ke rumah sakit bunda margonda. Istrinya tiba-tiba ingin melihat nayla karena sudah kangen dengan buah hati yang ada dalam perut kandungannya. Lantas setelah mengetahui keadaanku dan keadaan nayla, Pak ahmad sangat terkejut. Begitu juga dengan istrinya. Kemudian pak ahmad mengajak aku untuk ngobrol di ruang tempat nayla di rawat.
Pertanyaan demi pertanyaan pak ahmad aku jawab dengan baik, sampai pada akhirnya ia ingin sekali mengenali keluargaku. Dan aku menceritakan kepadanya prihal keluargaku. “Aku terlahir sebagai anak dari ibu salamah dan bapak Muhammad Ghofur, namun saat itu bapak Ghofur tidak tahu kalau aku anaknya. Kata ibu sewaktu bapak ghofur menceraikan ibu salamah dulu, ternyata dalam perut ibu terdapat buah hati hasil perkawinan mereka.” Pak ahmad tiba-tiba memeluk tubuhku. Ia tak kuasa menahan haru. Perasaannya tak karuan. Senang. Sedih. Menyesal. Kecewa. Entahlah, hanya pak ahmad sendiri yang tahu isi hantinya saat itu. Dan ketika aku hendak melanjutkan kisah hidupku sampai tiba di kota ini, tiba-tiba pak ahmad berkata “Anakku, tahukah kau siapa nama lengkap pak Ahmad ini. Nama bapak Muhammad Ghofur nak, Bapak tidak ingin ketika memberikan pertolongan kepada adikmu. Identitas bapak diketahui oleh siapapun termasuk dirimu, makanya bapak hanya menggunakan nama panggilan sehari-hari yang hanya digunakan keluarga dekat saja. Pak Ahmad. Diambil dari kata Muhammad.” Aku sudah tersungkur memuja keagungan Tuhan semesta Alam. Nasihat ustad aidh tiba-tiba menggema di ruang tempat nayla dirawat.
“Dengan berdzikir kepada Tuhan semesta alam, awan ketakutan, kegalauan, kecemasan dan kesedihan akan sirna. Bahkan, dengan berdzikir kepada-Nya segunung tumukan beban kehidupan dan permasalahan hidup akan runtuh dengan sendirinya. Pena takdir telah mengering, lembaran-lembaran catatan perjalanan hidup telah disimpan, setiap perkara telah diputuskan dan takdir telah ditetapkan”.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar