WELCOME

Selama nafas terus berhembus... Selama Jantung terus berdetak... Selama kaki tetap berpijak....

Selama itu pula aku akan bertahan...
Bertahan di Dunia Mu... Hanya untuk beribadah Kepada Mu...

Alhamdulillah.... Thanks Allah of Your Blessing... Hiasi Hidup agar lebih hidup.....

Sabtu, 16 Oktober 2010

INDIA

India
“Salaam Mumbai”

“Kota yang mempertemukan beragam kasta dan agama. Juga, kaum termiskin dan superkaya….”
   
Hujan tak pernah berhenti menghujam Mumbai. Sepanjang hari jalanan basah dan digenangi air. Taksi tua yang dikemudikan ashok meliuk-liuk diantara ratusan mobil yang terperangkap kemacetan. Siang itu, kesabarannya seperti habis. Lampu merah dilanggarnya. Beberapa kali taksinya nyaris bersenggolan dengan kendaraan lain.
Gaya mengemudi ashok memang bisa membuat kepala mendidih. Namun, ketika mata berkesempatan melihat kesekeliling interior taksi yang sudah sangt tua (Fiat tahun 1950-an), dengan handuk lusuh yang tergeletak di dashboard recehan uang kertas yang diselipkan di dekat persenelin, keringat yang terus bercucuran dikepalanya karena mobil tak berpendinginh, perlahan-lahan muncul rasa iba.

Di tengah kemacetan, ashok bercerita tentang pergulatannya bertahan hidup di kota ini yang telah dilakoninyna selama 10 tahun, sejak ia meninggalkan kampungnya di uttar Pradesh. Kini ia menetap di salah satu shantytown (kawasan kumuh) di kota itu.

Memahami bombai, menghayati detaknya, memang butuh kesabaran. Kota ini kan memperlihatkan daya tariknya secara perlahan. Gedung-gedung kusam yang dibangun di era koloneal inggris berangsur membangkitkan aura kehidupan masa lampau. Lalu lalang manusia yang massif, arus lalu lintas yang bising dan padat, disisi lain sekedar menegaskan bahwa nadi kota ini tak pernah berhenti berdenyut.

Yang mencolok mata, kawasan kumuh (slum) di kota ini begitu luas dan mungkin dan mungkin salah satu yang terbesar di asia. Kehadiran para pengemis yang berkeliaran di jalan-jalan dan tergolek di trotoat mengentakkan kesadaran tent5ang realitas kehidupan yang amat keras. Namun, di saat bersamaan mata menyapu gedung-gedung pencakar langit yang terus bertumbuh. Sementara Koran dan televise tak henti melaporkan gaya hidup mewah para industrialis, kaum superkaya, ataupun sosialita bollywood di acara-acara prestisius.

Begitulah, Mumbai penuh dengan kekontrasan. Sejarah perdagangan india dimulai di kota ini. Demikian juga dengan industry film, music dan mode. Mumbai mempertemukan beragam kasta, adama dan kelas sosial.

“Tak ada kota lain di india yang memiliki kekuatab seperti Mumbai. Mumbai sekaligus pusat keuangan, pusat mode, pusat industri, pusat industry filmdi Negara ini.” Kata Kaushal (35), perempuan dengan dua anak yang tinggal di salah satu kawasan terbaik di Mumbai.
“Kalau anda perhatikan, hanya di kota ini kelas menengah india mau menggunakan transportasi umum karena bis-bis di sini terjaga kebersihannya dan relative aman.” Ujarnya.

Di maloam hari Mumbai bertaburan cahaya. Aliran listrik menerangi kios-kios yang berimpitan di sentra-sentra pertokoan, sementara cahaya petromaks menyinari “pasar-pasar tumpah” di kaki lima. Lalu lalang manusia di malam hari tak pernah menyurut. Kemanapun menorah, manusia ada di mana-mana.

“Saya lahir dan hidup di Mumbai, saya tak akan pernah meninggalkan kota ini. Kota ini menyediakan apapun yang kita butuhkan. Mau makan di tengah malam ? anda tinggal keluar rumah. Mau lihat pertunjukan, anda tinggal cari.” Kata nurrohmah (50), pria yang tinggal di salah satu lingkungan komunitas muslim di Mumbai utara.

Toh, baying-bayang ketegangan sulit lepas dari menak mereka. Konflik berdarah tahun 1992 menewaskan 800 orang ketika masjid Babri di Ayodhya di hancurkan. Setahun kemudian serangan bom merenggut 300 korban jiwa. Serangan paling akhir adalah di hotel Taj mahal Palacetanggal 26 November 2008, sedikitnya 167 orang tewas dan 293 orang luka-luka.

“Itu peristiwa yang sangat menyedihkan kota ini tak sama lagi dengan bombay semasa saya kecil, yang teduh dan damai.” Kata Nur.

Dua Dunia
Menyusuri Mumbai, bisa di mulai dengan berjalan kaki dari gateway of India. Inilah bagian kota yang tercantik dari Mumbai, penuh dengan aura kejayaan masa silam. Gateway of India, merupakan bangunan yang terinspirasi dari arsitektur Muslim Gujarat pada abad ke-16, dibangun tahun 1911 untuk menyambut kunjungan raja inggris George V.

Bangunan ini menghadap ke laut lepas, seakan menjadi gerbang bagi siapapu8n yang datang dan pergi. Berhgadapan dengan gerbang ini adalah hotel Tajmahal Palace yang dibangun tahun 1903 dengan campuran arsitekur Islam dan Renaisan. Hotel ini dibangun oleh industrialis keturunan persi, JN Tata. Konon, ia sakirt hati ditolak menginap di sebuah hotel eropa di Mumbai hanya karena ia pribumi.

Dari jalan mahatma Gandhi menuju stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji Terminus (dahulu bernama Victoria Terminus), potret “utuh” Mumbai selintas tertangkap. Gedung-gedung colonial berbaur dengan bangunan modern, pengemis mengais makanan di depan butik-butik permata, dan taksi-taksi tua berebut jalan dengan mobil-mobil mewah.

Area ini penuh dengan pedagang kaki lima. Jangan kaget bila buku-buku terbitan terbaru yang harganya ratusan ribu di Jakarta di jual murah di kaki lima dengan harga seperlimanya. Itupun masih bisa di tawar. Dari lukisan sampai ikat pinggang, dari baju sampai balon gas, semua bisa di temukan di sepanjang jalan ini.

Keluar dari wilayah kota tua, beranjak kewilayah lain. Mumbai yang memiliki kekhasan berbeda. Toko-toko kecil dengan suasana mirip di jatinegara, Jakrta, memenuhi kawasan Mahim, Matunga, Dahar. Selain barang kelontong, elektronik dan pakaian, ditengah impitan toko terkadang ditemukan kios sederhana yang menawarkan pelayanan unik. Misalnya, ahli bedah jantung, ahli bedah mata, ahli penyakit dalam, dan broker untuk memasukkan anak ke sekolah prestisius.

Sampai akhirnya saya berhadapan dengan kawasan slum yang terkenal itu, Dharawi. Ada sekitar satu juta orang penghuni area kumuh ini. Gubuk-gubuk saling berhimpitan dengan menyisakan gang sempit untuk lalu lalang manusia. Kondisi seperti ini kita temui juga di Jakarta. Namun, di Mumbai kadar keluasannya luar biasa. Dari seberang kali, di salah satu atap rumah terpampang papan nama bertuliskan “Klinik kesehatan Abdul Alam”. Bangunan itu hanya separuh tembok, sisanya ditutupi oleh seng. Tirai kumal tak cukup menutupi seluruh kawat jendela. Entah seperti apa pelayanan kesehatan yang ditawarkan di situ.

Rasa sesak berganti dengan cepat ketika memasuki Bandra Worli Sea Link, jalan bebas hambatan termodern di Mumbai yang dibuka sejak juli 2009. Rute ini menghubungkan Bandra dan pinggiran kota di bagian barat dengan worli dan pusat kota Mumbai. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah hamparan laut dengan tepiah gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Sebagian tertutup awan hitam yang masih menggantung. Azan maghrib lamat-lamat terdengar dianatara derai hujan…

( kompas edisi minggu 5 september 2010_ Trand Perjalanan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar